![]() |
Foto: Pembangkit nuklir Chernobyl, Ukraina. (YouTube/NRCgov) |
Dua faktor krusial dalam pengembangan energi nuklir adalah memastikan seluruh peralatan berfungsi optimal dan tenaga kerja memiliki kompetensi yang memadai. Ketiadaan kedua hal ini pernah membawa bencana besar, seperti yang terjadi dalam insiden meledaknya reaktor nuklir di Chernobyl pada 26 April 1986, tepat 69 tahun lalu.
Tragedi tersebut menewaskan sekitar 60.000 orang dan memaksa ratusan ribu penduduk meninggalkan tanah kelahiran mereka, dengan prediksi bahwa wilayah tersebut baru bisa dihuni kembali dalam 20.000 tahun ke depan.
Sebagai latar belakang, kompleks nuklir Chernobyl merupakan bagian dari ambisi besar Uni Soviet untuk menjadi pemilik tenaga nuklir terbesar dunia. Sejak tahun 1977, Soviet berhasil mengoperasikan reaktor berkekuatan 1.000 megawatt — cukup untuk memasok kebutuhan listrik sebuah negara kecil selama bertahun-tahun.
Pembangunan terus berlanjut hingga tahun 1986, dengan empat reaktor besar beroperasi di Chernobyl. Namun, beberapa di antaranya masih berada dalam tahap pengujian. Menurut laporan The Guardian, salah satu uji coba yang dijalankan bertujuan menguji kemampuan sistem pendingin reaktor tetap berfungsi jika pasokan listrik utama terputus.
Hal ini penting karena reaktor harus terus-menerus didinginkan oleh air; tanpa pendinginan, suhu inti reaktor dapat meningkat drastis dan memicu ledakan.
![]() |
Pembangkit nuklir Chernobyl, Ukraina. (world-nuclear.org) |
Pada tanggal 26 April 1986, tim teknis Soviet berusaha menguji ketahanan turbin dalam mempertahankan pasokan air pendingin. Secara teori, meski aliran listrik utama terhenti, turbin masih dapat mengalirkan air ke reaktor untuk beberapa waktu.
Sayangnya, pelaksanaan uji coba ini diwarnai dengan ketidakcakapan dan arogansi dari beberapa pejabat penting, termasuk Deputi Kepala Teknisi Anatoly Dyatlov dan Kepala Teknisi Nikolai Fomin.
Mengutip buku Chernobyl: 01:23:40 (2014), Fomin diketahui sengaja menutupi fakta bahwa daya reaktor saat itu hanya 200 megawatt — jauh di bawah standar aman sebesar 700 megawatt. Sementara Dyatlov memaksa agar uji coba tetap dilaksanakan, meski banyak teknisi yang mengaku tidak siap. Ancaman mutasi membuat teknisi akhirnya terpaksa menuruti perintah.
Tragedi bermula ketika generator dinyalakan dan turbin sempat berfungsi, namun tak lama kemudian tenaga turbin melemah drastis. Akibatnya, suhu inti reaktor naik tajam.
Para teknisi berusaha mengaktifkan sistem darurat dengan menekan tombol SCRAM, yang seharusnya mematikan reaktor secara otomatis. Namun, tombol tersebut gagal berfungsi karena tidak pernah diuji sebelumnya.
Dalam hitungan detik, suhu inti melonjak hingga 3.000 derajat Celcius, memicu ledakan hebat. Ketika itu, sebagian besar warga sekitar masih tertidur dan tidak menyadari bahaya. Radiasi yang dilepaskan begitu kuat hingga alat pengukur radiasi pun tak mampu membaca tingkat keparahannya.
Pagi harinya, warga mulai menyadari keanehan saat melihat "debu" bertebaran di udara — yang ternyata adalah partikel radioaktif. Dampaknya mengerikan: BBC mencatat sekitar 90.000 kematian akibat radiasi dalam jangka panjang, serta lebih dari 600.000 orang mengalami paparan radiasi serius.
Menurut WHO, kontaminasi radiasi menyebar hingga 200.000 kilometer ke seluruh Eropa. Sementara itu, wilayah Chernobyl diperkirakan baru akan aman untuk dihuni manusia setelah puluhan ribu tahun.